Showing posts with label kehidupan. Show all posts
Showing posts with label kehidupan. Show all posts

29.6.19

MEREDAM KETEGANGAN DENGAN MENELADANI ABU NAWAS DAN RAJA HARUN AR-ROSYID

09:53 1
 R. Harun arrosti (kanan), pengikut raja (tengah), Abu nawas
R. Harun ar-rosyid (kanan), pengikut raja (tengah), Abu nawas

Masyarakat indonesia baru saja menyelesaikan pilkada, pileg dan pilpres yang sangat menguras tenaga dengan mengunakan fikiran, emosi, perasaan, hati dan elemen elemen lainnya. Tidak sedikit yang sakit hati dan belum mampu move on dari kekalahannya oleh kelompok dan orang yang didukungnya. Karenanya penulis mencoba membantu menyerilkan perasaan dan hari yang sudah terkotori oleh debu debu pilpres, semoga pembaca mampu mengobati sendiri dan menjadikan Indonesia semakin jaya dan maju 
Belum lama ini kita di pertontonkan oleh sikap KH. Abdur-rahman wahid (gus dur) yang mengorbankan kursi kepresidenan demi menghindar dari pertumpahan darah serta cerita-serita jenakanya mampu menurunkan tensi darah amarah patut dijadikan teladan kita dalam menaungi dunia sosial. Gus dur merupakan tokoh yang paling kocak yang pernah dimiliki indonesia, beliau sering di jadikan layaknya Abu nawas.
Kisah Abu Nawas dan Raja Harun Arrosid yang penuh inspiratif dan kocak menjadi teladan untuk mengendurkan otot yang tegang dan menurunkan tensi darah yang sempat naik sebab PILKADA, PILEG, dan PILPRES, Abu nawas (Abu Ali Al-hasan Hani Al-hakami. sering berperan sebagai orang sufi yang patuh terhadap hukum, sangat cerdik, dan selalu menang. Harun ar-rosyid berperan sebagai orang sufi yang serius, patuh terhadap hukum meskipun dia yang menyusunnya dan selalu kalah. keduanya saling membutuhkan bak gula dan kopi dalam wedang kopi.
Suatu hari Raja Harun Ar-rosyid mendapatkan habar tidak baik dan di tuntut menghukum pancung kepada Abu Nawas yang berpendapat Bahwa dalam sholat tidak ada rukuk dan sujud dan Raja Harun Arrosyid merupakan Raja yang suka menfitnah,perkataan tersebut dianggap melanggar sai’at dan fitnah. Dalam persidangan Abu Nawas membenarkan semua tuduhannya pengikut Raja Harun Arrosid. Si Raja langsung menyuruh algojonya untuk menghukum pancung Abu Nawas, namun berargumen, “ wahai Raja, saya memang benar berkata bahwa rukuk dan sujud tidak perlu dalam sholat, tapi dalm sholat apa? Waktu itu saya menjelaskan tata cara sholat janazah yang memang tidak boleh rukuk dan sujud. Terkait dengan ucapanku bahwa Raja Harun Arrosyid merupakan Raja yang suka menfitnah itu aku  sedang menjelaskan tafsir ayat 28 QS Al-anfal yang artinya dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi  Alloh ada pahala yang besar. Sebagai seorang raja dan ayah, Raja sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka fitnah (cobaa)”. Mendengar penjelasan Abu Nawas, Raja Harun Arrosyid langsung tertunduk malu serta menganggap bahwa Abu Nawas sedang mengingatkannya. Dan Raja harun Arrosid memberi hadia kepada Abu nawas sebagai ucapan terima kasih.
Didalam kisah Abu Nawas selalu mengkritik Raja Harun Arrosyid dengan penuh etika tanpa menurunkan harga diri seorang raja.
Dari berbagai kisah lucu inspiratif Abu Nawas dengan Raja Harun Arrosyid bahwa dunia ini penuh permainan, karenanya jangan terlalu tegang dan mengambil hati dalam menanggapi sebuah masalah kecuali untuk meningkatkan kuwalitas diri dan mendekat kepada Tuhan yang maha esa.
Terima kasih sudah membaca coretan saya

28.6.19

DI BALIK SILATUR RAHMI

13:47 1
Silaturahmi


Manusia adalah makhluk penakut. Sejak mula sudah digariskan untuk gentar menghadapi kesepian. Bacalah kisahnya, betapa gembira Nabi Adam saat Allah menciptakan Hawa untuk menemaninya. Itu bukti betapa kita tidak boleh macak paling ahli surga dan menilai orang lain serba keliru. Sebab surga akan sepi. Dan percayalah, kesepian tetap bukan hal menyenangkan, meski di surga sekalipun. 

Wis tinakdir Gusti bahwa manusia itu berkoloni, bersaudara, berteman, dan hidup semrawung. Kalau ada yang tidak begitu, mungkin dia khilaf atau mungkin sedang tidak enak badan. 

Jangankan kok sama saudara sedarah, tetangga, dan teman sekolah, dengan sesama pesepeda ontel, pemotor Mio, pecinta Avanza, atau sesama penghobi manuk perkutut pun kita membangun komunitas. 

Saya sepenuhnya percaya bahwa silaturahmi dapat melapangkan jalan rezeki. Barang sekadar jamuan minum teh, sajian rengginang lorjuk, sangu uang, hingga koneksi pekerjaan bisa lahir dari pertautan hubungan di antara mereka yang sering berkumpul dan kerap saling mengunjungi.

Oya, silaturahmi juga dapat memperpanjang usia. Kata Gus Dur, orang yang rajin bersilaturahmi rajin mengunjungi rumah saudara dan sanak kerabatnya. Bisa jadi, saat malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawa, yang bersangkutan tak ada di rumah karena sedang nglencer ke rumah saudara .

25.6.19

Cegah sara dengan keadilan

07:29 0

Gambar Kerukunan dalam perbedaan


Sara pemicu ketegangan

Akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antar agama Katolik dan Islam, rohingya di myanmar merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras, antar golongan) di negara kita. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (baca: Cina) sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia, meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat struktural.
SARA, khususnya agama, sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita perlu bersikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah pemicu utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya menjadi "limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah penguasaan sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan suatu etnik tertentu. Demikian pula halnya suku dalam SARA. Sebagai contoh, kebetulan etnik Cina atau suku Makasar dan Madura mampu bersaing dalam penguasaan sumber alam, maka merekalah yang dijadikan tumpuan kemarahan suku yang merasa kehilangan penguasaan sumber alamnya.
Kita memang perlu melihat masalah SARA dari perspektif lain, yakni perspektif ketidakseimbangan antara suku dalam akses mereka pada sumber alam dan faktor-faktor pada tingkat makro lain, seperti belum terciptanya birokrasi yang secara politis netral. Perspektif seperti ini akan melihat masalah sebenarnya yang kini dihadapi bangsa ini, karena SARA hanya merupakan "limbah" masalah dasar itu, serta wahana mobilisasi masyarakat, guna menarik perhatian pemerintah untuk menyelesaikan masalah dasar tersebut.  SARA tak akan mampu memicu terjadinya suatu ketegangan apabila tak terkait dengan faktor struktural yang ada dalam masyarakat. Singapura dan Malaysia adalah negara multietnik dan multibudaya, namun hubungan antar etnik relatif harmonis. Hipotesis saya, karena Pemerintah Malaysia dan Singapura -berserta aparaturnya- termasuk pemerintahan yang bersih, baik dari segi ekonomi maupun politik. Karena aparatur kedua pemerintahan itu bersih, maka keadilan pun terjamin. Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu pemerintahan yang bersih. Akibatnya, keadilan sulit dicapai. Sekelompok etnik tertentu, yang bekerja sama dengan aparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat memanfaatkan kesempatan yang diciptakan pemerintah. Hal ini kemudian menimbulkan masalah SARA atau sikap anti terhadap suku tertentu.Tapi kita perlu memahami bahwa masalah tersebut muncul karena kelompok etnik itu mengalami political insecurity dalam masyarakat, sehingga mereka perlu mencari security melalui aliansi dengan aparatur pemerintah yang mengalami economic insecurity.
Gejala menarik yang terjadi di negara kita, adanya satu birokrasi yang merupakan bagian suatu organisasi sosial politik (orsospol). Ketidaknetralan birokrasi itu dapat memancing ketegangan sosial yang manifestasinya adalah pada tindakan SARA. Contohnya, beberapa gejolak sosial pada Pemilu 1997, seperti terjadi di Pekalongan. Dalam hal ini, kita dapat mendeteksi adanya political insecurity di kalangan aparatur, yakni takut kehilangan jabatan apabila orsospol tertentu kalah. Political insecurity itu sering dimanifestasikan dalam tingkah laku yang bersifat overakting, yang dapat menimbulkan reaksi keras dari orsospol lain, yang pada akhirnya menimbulkan tindakan SARA. Bagaimanapun, SARA adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Kita tak dapat menghindar dari masalah ini.
Kita dapat mencegah SARA menjadi sumber kerawanan dengan menempuh beberapa cara:
dalam membangun perekonomian harus secara tegas ditempuh pendekatan affirmative action, yakni memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk berkembang. 
pemerintah harus menciptakan aparatur pemerintah yang netral dari segi politis. Korpri harus dianggap sebagai organisasi profesional pegawai negeri sipil, bukan mesin perolehan suara dalam pemilu.
terciptanya suatu organisasi bagi kelompok etnik Cina yang dapat memberikan perlindungan politis bagi mereka, sehingga tak perlu mencari perlindungan kepada birokrasi.
menciptakan pemerintahan yang bersih dari segala jenis kecurangan.
Sarah merupakan konflik yang tidak bisa di hindarkan namun sara juga menjadi batu loncatan suatu bangsa yang beragam corak agama, etnis dll menjadi Negara yang maju dan sejahtera. Dengan menjalani aturan dan bermacam pencegahan maka tak bisa di pungkiri bahwa Indonesia akan lebih maju dan sejahtera.